Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan magfirah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Shalawat serta salam tak lupa penulis hadiahkan kepada junjungan alam Nabi Besar Muhammad saw., sang reformis sejati yang merubah peradaban umat manusia menuju peradaban yang penuh dengan norma dan IPTEK.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses penulis menyusun makalah ini. Khususnya kepada dosen pengampu yang telah memberikan tugas ini sebagai bahan pembelajaran yang sangat berharga bagi penulis.
Penulis sadari karya sederhana ini tentunya tak lepas dari berbagai kekurangan dan keterbatasan, baik dari segai materi, system penulisan dan sebagainya. Untuk itu dengan penuh rendah hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca.
Akhirnya penulis mengharapkan semoga karya sederhana ini berguna bagi kita semua khususnya bagi diri penulis sendiri.
Pancor, 06 Januari 2011
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..............................................................................................................................
KATA PENGANTAR............................................................................................................................
DAFTAR ISI........................................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................................
a. Latar Belakang.......................................................................................................................
b. Rumusan Masalah.................................................................................................................
c. Tujuan Masalah.....................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................................................
A. Problematika IPA...................................................................................................................
B. Cara Penanggulangan Problematika IPA Di Indonesia..............................................................
BAB II PENUTUP................................................................................................................................
Kesimpulan...........................................................................................................................
Keritik dan Saran...................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Pendidikan adalah suatu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangakan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalaian diri, keperibadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan, yang di perlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran atau pelatihan agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya.
Di samping itu juga kita ketahui bahwa, Tujuan pendidikan merupakan sesuatu yang ingin di capai oleh kegiatan pendidikan adalah suatu yang logis bahwa pendidikan itu harus di mulai dengan tujuan yang diasumsikan sebagai nilai. Tanpa sadar tujuan, maka dalam praktek pendidikan tidak ada artinya (moore, T.W 1974 : 86)
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting dan medasar dan diintegrasi dari berbagai cabang ilmu terutama yang ada dalam dunia pendidikan seperti: fsikologi pendidikan, filsafat pendidikan, cabang –cabang ilmu penting lainnya yang di pelajari yang terkait dengan dunia pendidikan.
Maka melalui Pengembangan Konsep Dasar Sains SD tentang Problematika IPA di Indonesia dan Cara Penanggulangnya ini merupakan suatu pintu gerbang bagi kita untuk mengetahui serta mengatasi bagaiman perkembngan IPA di Indonesia ini, dan bagaimana cara kita memberikan solusi terbaik supaya apa yang menjadi penghambat dalam penerapan IPA ini dapat teratasi.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara seorang pendidik mampu mengenal apa itu IPA yang sebenarnya
2. Bagaimana seoran pendidik mengetahui serta mampu menguasi tipe-tipe IPA.
3. Bagaimana tindakan serta pandangan seorang guru dalam menggatasi problematika yang ada di lingkungan pendidikan anak SD terhadap perkembangan IPA.
C. Tujuan Masalah
1. Agar dapat mengetahui dan memahami peroblematika yang ada.
2. Mampu mengembangkan berbagai penerapan IPA terhadap karateristik anak usia SD.
3. Memilki kesadaran dan kepedulian terhadap pendidikan serta bagaiman hubungan antara guru dengan siswa dapat terjalin dengan baik sehingga. Sehingga kita dapat mengetahui problematika yang ada sehingga karateristik dari anak lebih meningkat dan dapat dengan mudah untuk mencari solusi terhadap problematikan yang ada serta dapat menerapkan pembelajaran IPA dengan baik.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Problematika IPA
Sejak tahun 2000 penulis mengkaji konsep-konsep IPA dan penerapannya, terutama konsep-konsep fisika. Dari hasil pengkajian itu diperoleh Struktur Konsep IPA, Prinsip Segitiga Pengkajian Alam, dan Analisis Objek dan Fenomena Alam, ketiganya ini merupakan upaya penulis untuk mencari metode berpikir dalam IPA. Ketiga jenis hasil pengkajian ini sering disampaikan pada rekan-rekan guru IPA SD, SMP, dan fisika SMA. Dari hasil diskusi dengan rekan guru-guru tersebut diperoleh indikator yang menunjukkan letak kelemahan pendidikan IPA. Setelah direvisi bersama-sama dengan rekan-rekan guru tersebut dan disampaikan lagi pada rekan-rekan guru IPA yang lain, hasilnya mengindikasikan bahwa kelemahan pembelajaran IPA di negara kita terutama terletak pada pengetahuan mengenai bagaimana keterampilan proses dilaksanakan dan orientasi pembelajaran IPA.
Menurut Salisbury (1988) tahap-tahap pembelajaran peningkatan keterampilan meliputi 3 tahap sebagai berikut.
1. Tahap Kognitif
Pada tahap ini siswa menerima dan mempelajari informasi atau instruksi mengenai keterampilan. Tahap ini menghasilkan representasi mental mengenai bagaimana keterampilan itu dilaksanakan.
2. Tahap Asosiatif
Pada tahap ini siswa berlatih melaksanakan unjuk kerja keterampilannya dengan pengetahuan yang diperolehnya pada tahap kognitif. Upaya awal siswa ini tidak langsung mulus, melainkan terjadi dengan kesalahan-kesalahan yang tidak dapat dihindari atau ketidakcakapan dalam menggunakan informasi yang sudah diketahuinya. Pada tahap ini siswa juga memperbaiki unjuk kerja keterampilannya, sehingga unjuk kerja keterampilannya menjadi lebih baik.
3. Tahap Otonomi
Pada tahap ini, siswa sudah menguasai keterampilan dari hasil berlatihnya pada tahap asosiatif. Unjuk kerja keterampilannya menjadi lebih cepat dan otomatis. Tidak semua keterampilan mencapai tahap ini, keterampilan-keterampilan tertentu tidak mencapai tahap ini.
Dalam Pernyataan Salisbury tersebut menunjukkan bahwa keterampilan, termasuk keterampilan berpikir dan keterampilan proses, ada pengetahuannya yang berupa pengetahuan mengenai bagaimana melaksanakan keterampilan. Pengetahuan mengenai bagaimana keterampilan itu dilaksanakan memang tidak pernah dituliskan orang dan tidak pernah diajarkan. Tidak ada satu sekolah pun, bahkan perguruan tinggi, yang mengajarkan pengetahuan tersebut. Karena itu, wajar jika guru-guru IPA di negara kita kurang dapat meningkatkan kompetensi siswa dalam Literasi IPA secara umum.
Sedikit kita menegok di negara maju pengetahuan untuk keterampilan itu, sudah dikenal siswa sejak SD. Pembelajaran yang menghadapkan siswa dengan fenomena alam, serta dialog guru dan siswa sudah terbiasa dalam pembelajaran IPA yang dilaksanakan mereka, sehingga pengetahuan untuk keterampilan itu sudah dikenal siswa.
Walaupun di negara kita ada juga guru-guru yang suka membelajarkan siswanya seperti yang dilakukan di negara maju, tetapi pengetahuan untuk keterampilan itu belum dimiliki guru, karena pengalaman belajar guru dari sejak SD sampai perguruan tinggi tidak seperti yang dilakukan di negara maju. Seperti yang banyak kita dengar bahkan kita lihat perkembangan sekarang ini dengan program pemerintah yang sekarang yang meminta di setiap kabupaten itu hendaknya memiliki sedikitnya 1 sekolah bertarap internasional di setiap jenjang pendidikan. Seperti yang di terapkan di SDN 3 Pancor
Berdasarkan penjelasan tersebut, upaya untuk mengatasi kelemahan pendidikan IPA harus dilakukan dengan mengenalkan dan meningkatkan kompetensi guru-guru IPA pada pengetahuan yang belum pernah dipelajarinya, yaitu pengetahuan mengenai bagaimana keterampilan berpikir/ keterampilan proses dilaksanakan dan mengarahkan pembelajaran IPA di kelas pada kegiatan siswa mempelajari fenomena alam.
Kita kembali pada tingkat pengetahuan awal melalui Hakikat pembelajaran Sains (Puskur, 2003) adalah pembelajaran yang mampu merangsang kemampuan berfikir siswa meliputi empat unsur utama (1) sikap: rasa ingin tahu tentang benda, fenomena alam, makhluk hidup, serta hubungan sebab akibat yang menimbulkan masalah baru yang dapat dipecahkan melalui prosedur yang benar; IPA bersifat open ended; (2) proses: prosedur pemecahan masalah melalui metode ilmiah; metode ilmiah meliputi penyusunan hipotesis, perancangan eksperimen atau percobaan, evaluasi, pengukuran, dan penarikan kesimpulan; (3) produk: berupa fakta, prinsip, teori, dan hukum; (4) aplikasi: penerapan metode ilmiah dan konsep IPA dalam kehidupan sehari-hari. Dalam proses pembelajaran IPA keterlibatan keempat unsur ini, diharapkan dapat membentuk peserta didik memiliki kemampuan pemecahan masalah dengan metode ilmiah, dan meniru cara ilmuwan bekerja dalam menemukan fakta baru
Namun di samping itu pembelajaran sains yang selama ini terjadi di sekolah belum mengembangkan kecakapan berfikir siswa untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Padahal pengajaran sains dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) adalah merupakan solusi bagaimana cara belajar, meningkatkan kualitas berpikir serta bagaimana memotivasi siswa agar lebih baik dalam mengembangkan diri pada pembelajaran IPA. Seperti yang di katakana oleh salah astu peneliti yang mengatakan “ pengajaran yang mengajarkan siswa bagaimana belajar, bagaimana mengingat, bagaimana berfikir, dan bagaimana memotivasi diri mereka” (Nur, 2005). Pengajaran sains merupakan proses aktif yang berlandaskan konsep konstruktivisme yang berarti bahwa sifat pengajaran sains adalah pengajaran yang berpusat pada siswa (student centered instruction).
Untuk menilai apakah IPA diimplementasikan di Indonesia, kita dapat melihat hasil literasi IPA anak-anak Indonesia. Hal ini mengingat arti literasi sains/IPA (scientific literacy) itu sendiri yang ditandai dengan kerja ilmiah, dan tiga dimensi besar literasi sains yang ditetapkan oleh PISA, yaitu konten IPA, proses IPA, dan konteks IPA. Hasil penelitian PISA tahun 2000 dan tahun 2003 menunjukkan bahwa literasi sains anak-anak Indonesia usia 15 tahun masing-masing berada pada peringkat ke 38 (dari 41 negara) dan peringkat ke 38 dari (40 negara) (Bastari Purwadi, 2006). Skor rata-rata pencapaian siswa ditetapkan sekitar nilai 500 dengan simpangan baku 100 point. Hal ini disebabkan kira-kira dua per tiga siswa di negara-negara peserta memperoleh skor antara 400 dan 600 pada PISA 2003. Ini artinya skor yang dicapai oleh siswa-siswa Indonesia kurang lebih terletak di sekitar angka 400. Ini artinya bahwa siswa-siswa Indonesia tersebut diduga baru mampu mengingat pengetahuan ilmiah berdasarkan fakta sederhana (Puskur, 2007)
Dalam prioritas pembangunan pendidikan nasional ditekankan juga pengembangan kemampuan belajar. Dalam prinsip pengembangan kurikulum berbasis kompetensi hal ini berkaitan dengan pengembangan keterampilan hidup, yang kemudian diterjemahkan dalam pendidikan kecakapan hidup. Oleh sebab itu perlu diberikan pengajaran strategi belajar kepada siswa sebab keberhasilan siswa sebagian besar bergantung pada kemahiran untuk mengajar secara mandiri dan memonitor belajar mereka sendiri (Nur, 2005). Dalam peristilahan lain hal ini dapat disebut sebagai kesadaran diri (self awareness). Konsep tentang bagaimana belajar, bagaimana mengingat, bagaimana berfikir, dan bagaimana memotivasi diri mereka dan sekaligus kesadaran diri adalah konsep dasar pengajaran metakognitif (teaching metacognitive) yang ingin diangkat dalam penelitian ini.
Dalam Penelitian ini dilatarbelakangi oleh dua hasil penelitian, pertama hasil penelitian Rowan Hollingworth dan Catherine McLoughlin berjudul The Development of Metacognitive Skill Among First Year Science Student yang menyebutkan kemampuan metacognitive perlu diberikan guna meningkatkan keteraturan belajar sains dan kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Kedua, hasil penelitian Dra. Endang Susantini, M.Pd berjudul “Pengembangan Perangkat Pembelajaran Biologi Dengan Strategi Metakognitif Untuk Memberdayakan Kecakapan Berfikir Pada Siswa SMU”. Penggunaan lembar penilaian pemahaman diri (LPPD) oleh guru dalam penelitian tersebut diketahui dapat memberikan kecakapan berfikir bagi siswa dan meningkatkan kemandirian siswa. Hal positif lain yang dapat dicapai oleh guru adalah membentuk siswa untuk memiliki sikap jujur, berani mengakui kesalahan dan menilai pemahamannya sendiri atau dengan kata lain strategi metakognitif mampu memunculkan kemandirian siswa dalam belajar. Namun penggunaan konsep metakognitif sejauh ini masih sebatas strategi belajar yang bersifat khusus dan belum sebagai pendekatan yang berlaku umum.
Padahal menurut Prof. Zainuddin Maliki (Jawa Pos, 3 Januari 2009) dalam gagasan pendidikan konstruktivistik untuk menghadapi kehidupan yang kompleks ini siswa harus memiliki kecerdasan metakognitif, meliputi kecerdasan kognitif, kecerdasan afektif dan kecerdasan motorik yang sejauh ini belum mampu dilakukan oleh guru. Guru sejauh ini cenderung merencanakan dan melaksanakan pembelajaran yang lebih berorientasi kognitif (pengetahuan), dan kurang mengembangkan aspek kecerdasan lain yang dimiliki siswa. Idealnya seorang guru harus mampu melahirkan resilence behaviour dari pembelajaran yang dilaksanakannya yang terbentuk dari kecerdasan metakognitif yang merupakan perpaduan antara kecerdasan kognitif, afektif dan motorik. Resilence behaviour sendiri merupakan perilaku cerdas siswa dalam membangun keseimbangan menghadapi hidup dan kehidupan.
Ditambahkan juga oleh Beyer (1998) bahwa kemampuan metakognitif merupakan pijakan dasar perilaku berfikir (habit of mind) yang merupakan hasil dari proses belajar. Namun, sejauh ini belum pelatihan metakognitif yang ditujukan kepada para guru untuk mampu mengimplementasikan metode metakognitif dalam pembelajaran. Berangkat dari argumentasi diatas maka perlu dilakukan pengembangan model pelatihan pengajaran metakognitif (teaching metacognitive) yang ditujukan untuk membekalkan ketrampilan metakognitif kepada guru-guru sains. Dengan pengembangan model pelatihan ini diharapkan dapat memberi dampak kepada guru sehingga menjadi pribadi guru yang mandiri (self regulated teacher), dan juga memiliki dampak bagi siswa sehingga menjadi pelajar yang mandiri (self regulated learner). Sehingga diharapkan dapat terbentuk konsep belajar sepanjang hayat (long life education) yang terintegrasi pada pribadi guru dan siswa dan pembelajaran yang dilaksanakan.
Dalam hasil penelitian di atas merupakan bagian dari upaya peneliti memperankan diri sebagai innovator dan peneliti dengan harapan mampu memberikan masukan dalam kebijakan dalam bidang peningkatan mutu pendidikan di Indonesia.
Selain itu juga di pandang dari Karakteristik Problem Based Learning
PBL telah dikenal sejak zaman John Dewey, yang sekarang ini mulai diangkat sebab ditinjau secara umum PBL terdiri dari menyajikan kepada siswa situasi masalah yang otentik dan bermakna yang dapat memberikan kemudahan kepada mereka untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri. Menurut Dewey belajar berdasarkan masalah adalah interaksi antara stimulus dan respons, merupakan hubungan antara dua arah belajar dan lingkungan. Lingkungan memberi masukan kepada siswa berupa bantuan dan masalah, sedangkan sistem saraf otak berfungsi menafsirkan bantuan itu secara efektif sehingga masalah yang dihadapi dapat diselidiki, dinilai, dianalisis serta dicari pemecahannya dengan baik. Pengalaman siswa yang diperoleh dari lingkungan akan menjadikan kepadanya bahan dan materi guna memperoleh pengertian serta bisa dijadikan pedoman dan tujuan belajarnya.
PBL telah dikembangkan dan mengalami perkembangan pesat dalam pendidikan kedokteran pada pertengahan tahun 1950-an dan sejak itulah telah disempurnakan dan diimplementasikan pada lebih dari 60 sekolah kedokteran di Eropa dan Amerika. Siswa-siswa yang belajar dengan model pembelajaran ini lebih mandiri dan memiliki keingintahuannya lebih besar, sehingga mereka memiliki kemampuan yang mumpuni dalam mengaplikasikannya dalam dunia medis. Sekarang model pembelajaran ini telah diadopsi pada sejumlah lembaga pendidikan, seperti sekolah bisnis, sekolah pendidikan, kerja sosial dan perguruan tinggi.
PBL merupakan model pembelajaran yang efektif untuk pengajaran proses berpikir tingkat tinggi. Pembelajaran ini membantu siswa untuk memproses informasi yang sudah jadi dalam benaknya dan menyusun pengetahuan mereka sendiri tentang dunia sosial dan sekitarnya. Pembelajaran ini cocok untuk mengembangkan pengetahuan dasar maupun kompleks. PBL mampu memberdayakan siswa dengan kebebasan yang lebih besar, mengaktivasi pembelajaran menjadi lebih menarik, meningkatkan penguasaan terhadap materi karena siswa mencari informasi dan menggunakannya secara aktif dalam menyelesaiakan permasalahan yang ditemukannya dalam kegiatan pembelajaran.
PBL berakar pada prinsip Dewey, “learning by doing and experiencing”, pandangan Dewey bahwa sekolah seharusnya menjadi laboratorium pemecahan masalah kehidupan nyata (Arends, 2007). PBL dikembangkan berdasarkan teori psikologi kognitif yang menyatakan bahwa belajar suatu proses dimana pembelajar secara aktif mengkonstruksi pengetahuannya melalui interaksinya dengan lingkungan belajar yang dirancang oleh fasilitator pembelajaran. Teori yang dikembangkan ini mengandung dua prinsip penting yaitu (1) belajar adalah suatu proses konstruksi bukan proses menerima (receptive process); (2) belajar dipengaruhi oleh faktor interaksi sosial dan sifat kontekstual dari pelajaran (Ibrahim dan Nur, 2008).
PBL konsisten dengan pandangan filosofi pembelajaran sekarang, terutama konstruktivisme. Teori-teori konstruktivis tentang belajar, yang menekankan pada kebutuhan siswa untuk menginvestigasi lingkungan dan mengkonstruksikan pengetahuan secara personal yang memberikan dasar teoritis untuk PBL, seperti Piaget dengan teori kognitifnya, Vygotsky dengan konsep zone of proximal development. Menurut Vygotsky, belajar terjadi melalui interaksi sosial dengan guru dan teman sebaya yang lebih mampu. Selain itu, PBL juga menyandarkan diri pada konsep lain yang berasal dari Bruner yakni idenya tentang scaffolding, proses bagi seorang siswa yang dibantu guru atau teman sebaya yang lebih mampu untuk mengatasi masalah dan menguasai keterampilan yang sedikit di atas tingkat perkembangannya saat ini.
Hal ini sesuai dengan tiga prinsip konstruktivisme menurut Savery dan Duffу (1995), yaitu: (1) pemahaman datang dari interaksi dengan lingkungan, (2) konflik kognitif menstimulasi pembelajaran, dan (3) pengetahuan berkembang melalui negosiasi sosial dan evaluasi proses pemahaman seseorang. Konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan tidak absolut tetapi dikonstruksi oleh pembelajar berdasarkan pengetahuan awal dan pandangan terhadap dunia. Jadi kesempatan untuk menemukan pengetahuan sendiri, membedakan pemahaman pengetahuan diri dengan orang lain dan menyusun kembali pengetahuan yang lebih relevan dengan pengalaman diperoleh siswa dalam pembelajaran dengan model PBL.
PBL secara mendasar mengubah pandangan proses belajar mengajar dari guru mengajar ke siswa belajar. Sebaliknya, dalam pengajaran tradisional, siswa menganggap bahwa guru merupakan satu-satunya ahli dalam menentukan setiap langkah pengajaran atau stage on the stage, dan sebagai sumber pengetahuan. Dalam PBL siswa dituntut untuk bekerja secara kooperatif dan menjadi bagian dari kelompok (cooperative learning). Kunci keefektifan dalam PBL adalah kemampuan siswa untuk bekerja sama secara efektif dalam memecahkan masalah (Akinoglu dan Ozkader, 2007). Dengan demikian dalam proses pembelajaran, fungsi guru dalam PBL adalah berperan sebagai fasilitator, motivator, organisator, dan evaluator.
PBL biasanya terdiri atas 5 (lima) tahap utama yang dimulai dengan guru memperkenalkan siswa dengan situasi masalah dan diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil kerja siswa. Jika jangkauan masalahnya sedang-sedang saja, kelima tahapan tersebut mungkin dapat diselesaikan 2 sampai 3 kali pertemuan.
PBL biasanya terdiri atas 5 (lima) tahap utama yang dimulai dengan guru memperkenalkan siswa dengan situasi masalah dan diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil kerja siswa. Jika jangkauan masalahnya sedang-sedang saja, kelima tahapan tersebut mungkin dapat diselesaikan 2 sampai 3 kali pertemuan.
Namun untuk masalah yang kompleks akan membutuhkan setahun penuh untuk menyelesaikannya. Kelima tahapan tersebut yaitu:
1. Orientasi Siswa Pada Masalah
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, mengajukan fenomena atau demonstrasi atau cerita untuk memunculkan masalah, memotivasi siswa untuk terlibat dalam pemecahan masalah yang dipilih.
2.Mengorganisasikan siswa untuk belajar
Guru membantu siswa untuk mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.
3.Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.
4.Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model serta membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya.
5.Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.
B. Cara Penaggulangan Problematika IPA Di Indonesia
1) Solusi Masalah Mendasar
Penyelesaian masalah mendasar tentu harus dilakukan secara fundamental. Penyelesaian itu hanya dapat diwujudkan dengan melakukan perombakan secara menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekular menjadi paradigma pendidikan Islam. Hal ini sangat penting dan utama. Artinya, setelah masalah mendasar diselesaikan, barulah berbagai macam masalah cabang pendidikan dapat diselesaikan (yang antara lain dikelompokan menjadi masalah aksesibilitas pendidikan, relevansi pendidikan, pengelolaan dan efisiensi, hingga kualitas pendidikan).
Solusi masalah mendasar tersebut adalah dengan melakukan pendekatan sistemik yaitu secara bersamaan dan menyeluruh agar sistem pendidikan dapat berubah lebih baik maka harus pula dilakukan perubahan terhadap paradigma dalam penyelenggaraan sistem ekonomi yang kapitalistik menjadi islami, tatanan sosial yang permisif dan hedonis menjadi islami, tatanan politik yang oportunistik menjadi islami, dan ideologi kapitalisme-sekuler menjadi mabda islam, sehingga perubahan sistem pendidikan yang materialistik pun dapat diubah menjadi pendidikan yang dilandasi oleh aqidah dan syariah islam sesuai dengan karakteristiknya. Perbaikan semacam ini pun perlu dikokohkan dengan aspek formal, yaitu dengan dibuatnya regulasi tentang pendidikan yang berbasiskan pada konsep syari’ah Islam.
Upaya perbaikan secara tambal sulam dan parsial, semisal perbaikan hanya terhadap kurikulum, tenaga pendidik dan kependidikan, sarana-prasarana, pendanaan dan sebagainya tidak akan dapat berjalan dengan optimal sepanjang permasalahan mendasarnya belum diperbaiki. Salah satu bentuk nyata dari solusi mendasar itu adalah mengubah total UU Sistem Pendidikan yang ada dan menggantinya dengan UU Sistem Pendidikan (Syari’ah) Islam. Hal paling mendasar yang wajib diubah tentunya adalah asas sistem pendidikan. Sebab asas sistem pendidikan itulah yang menentukan hal-hal paling prinsipil dalam sistem pendidikan, seperti tujuan pendidikan dan struktur kurikulum.
2) Solusi Untuk Permasalahan Derivat (Turunan)
Permasalahan cabang dalam sistem pendidikan nasional kita diantaranya dapat dikelompokan sebagai berikut: 1) Keterbatasan aksesibilitas dan daya tampung,; 2) Kerusakan sarana dan prasarana; 3) Kekurangan tenaga guru; 4) Kinerja dan kesejahteraan guru yang belum optimal; 5) Proses pembelajaran yang konvensional; 6) Jumlah dan kualitas buku yang belum memadai; 7) Otonomi Pendidikan;
Keterbatasan anggaran; 9) Mutu SDM Pengelola pendidikan; 10) Life skill yang dihasilkan belum optimal (Diknas Jabar. Makalah UPI EXPO 2006).

Untuk menyelasaikan masalah-masalah cabang di atas, diantaranya juga tetap tidak bisa dilepaskan dari penyelesaian terhadap masalah mendasar. Sehingga dalam hal ini diantaranya secara garis besar terdapat dua solusi yaitu:
Pertama, solusi sistemik. Yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, antara lain: sistem ekonomi, sistem politik, sistem sosial, ideologi, dan lainnya. Penerapan ekonomi syari’ah sebagai pengganti ekonomi kapitalis ataupun sosialis akan menyeleraskan paradigma pemerintah dan masyarakat tentang penyelenggaraan pendidikan, dimana pendidikan sebagai salah satu kewajiban negara yang harus diberikan kepada rakyatnya dengan tanpa adanya pembebanan biaya yang memberatkan ataupun diskriminasi terhadap masyarakat yang tidak memiliki sumber dana (capital) untuk mengenyam pendidikan, karena pendanaan pendidikan harus dialokasikan dari kas negara, bukan dibebankan kepada rakyat sebagaimana Rasulullah Saw pernah mencontohkan dengan menetapkan tebusan bagi orang-orang kafir yang menjadi tawanan dalam perang Badar dengan mengajari masing-masing sepuluh anak kaum muslimin, padahal harta tebusan tersebut statusnya merupakan ghanimah yang akan disimpan dalam Baitul Maal (kas negara) dan menjadi milik kaum muslimin (Struktur Negara Khilafah hal.213: HTI Press). Atas dasar inilah jaminan pendidikan terhadap rakyat merupakan kewajiban negara.
Penerapan sistem politik islam sebagai pengganti sistem politik sekuler akan memberikan paradigma dan frame politik yang dilakukan oleh penguasa dan masyarakat, dimana politik akan difahami sebagai aktifitas perjuangan untuk menjamin terlaksananya pengaturan berbagai kepentingan ummat oleh penguasa termasuk diantaranya dalam menetapkan kebijakan bidang pendidikan, sehingga bukan malah sebaliknya menyengsarakan ummat dengan memaksa mereka agar melayani penguasa. Penerapan sistem sosial yang islami sebagai pengganti sistem sosial yang hedonis dan permisif akan mampu mengkondisikan masyarakat agar memiliki kesadaran yang tinggi terhadap kewajiban terikat pada hukum-hukum syari’at sehingga masyarakat akan menyadari pula bahwa peran mereka dalam mensinergiskan pendidikan di sekolah adalah sebagai pihak yang dapat memberikan tauladan sekaligus mengontrol aplikasi nilai-nilai pendidikan yang diperoleh siswa di sekolah.
Secara keseluruhan perbaikan sistem ini akan dapat terlaksana jika pemerintah menyadari fungsi dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin. Rasulullah Saw bersabda:
“Seorang Imam ialah (laksana) penggembala dan Ia akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya (rakyatnya)”. (HR. Muslim)Kedua, solusi teknis. Yakni solusi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan internal dalam penyelenggaraan sistem pendidikan. Diantaranya, secara tegas, pemerintah harus mempunyai komitmen untuk mengalokasikan dana pendidikan nasional dalam jumlah yang memadai yang diperoleh dari hasil-hasil eksploitasi sumber daya alam yang melimpah yang merupakan milik ummat, menyita kembali harta milik rakyat yang telah dicuri oleh para koruptor baik dari kalangan penguasa, aparat pemerintah mauapun para pelaku usaha. Dengan adanya ketersediaan dana tersebut, maka pemerintahpun dapat menyelesaikan permasalahan aksesibilitas pendidikan dengan memberikan pendidikan gratis kepada seluruh masyarakat usia sekolah dan siapapun yang belum bersekolah baik untuk tingkat pendidikan dasar (SD-SMP) maupun menengah (SLTA), bahkan harus pula berlanjut pada jenjang perguruan tinggi. Merekrut jumlah tenaga pendidik dan kependidikan sesuai kebutuhan di lapangan disertai dengan adanya peningkatan kualitas dan kompetensi yang tinggi, jaminan kesejahteraan dan penghargaan untuk mereka. Pembangunan sarana dan prasarana yang layak dan berkualitas untuk menunjang proses belajar-mengajar. Penyusunan kurikulum yang berlandaskan pada nilai-nilai syari’ah (Al-Qur’an dan As-Sunnah). Melarang segala bentuk kapitalisasi dan komersialisasi pendidikan baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta menjamin terlaksananya pendidikan yang berkualitas dengan menghasilkan lulusan yang mampu menjalani kehidupan dunia dengan segala kemajuannya (setelah menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan teknologi serta seni baik yang berasal dari islam maupun dari non islam sepanjang bersifat umum) dan mempersiapkan mereka untuk mendapatkan bagiannya dalam kehidupan di akhirat kelak dengan adanya penguasaan terhadap tsaqofah islam dan ilmu-ilmu keislaman lainnya.
Bagaimana Starategi Pembelajaran Sains SD dengan PBL?
Ciri utama pembelajaran Sains melalui PBL adalah dimulai dengan pertanyaan atau masalah yang dilanjutkan dengan arahan guru pada siswa untuk menggali informasi, mengkonfirmasi dengan pengetahuan yang sudah dimiliki dan mengarahkan pada tujuan apa yang belum dan harus diketahui. Jadi terlihat bahwa siswa akan dapat menemukan sendiri jawaban dari masalah atau pertanyaan yang timbul di awal pembelajaran. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan tidak dengan jalan mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi dengan jalan menemukan dan menggeneralisasi sendiri sebagai hasil kemandirian
Pembelajaran Sains menggunakan model PBL haruslah mengembangkan kegiatan-kegiatan Sains yang bersifat kontekstual, yaitu: masalah-masalah yang dijadikan topik terkait dengan kehidupan sehari-hari, siswa merumuskan hipotesis, siswa mempersiapkan logistik yang diperlukan, siswa melakukan eksperimen, membuat laporan, siswa dapat menarik kesimpulan. Semua kegiatan tersebut harus berorientasi pada keaktifan siswa dalam Sains, rasa senang dan pengalaman nyata anak dengan lingkungan kehidupannya.
Strategi pembelajaran Sains melalui model PBL dapat dilihat pada diagram di bawah ini. Pembelajaran Sains dengan PBL di dalamnya digunakan pendekatan pemecahan masalah, di mana siswa menemukan kombinasi aturan-aturan yang telah dipelajari terlebih dahulu yang digunakan untuk menyelesaikan kesulitan masalah tersebut. Sains dengan PBL mengembangkan kebiasaan berpikir ilmiah dan berpikir bebas. Untuk mencocokkan masalah siswa harus berpikir, membuat hipotesis, membuktikan hipotesis, kemudian ditarik kesimpulannya.
Dalam menghadapi masalah yang dihadapi siswa dalam belajar tidak perlu emosional, putus asa, tetapi bertindaklah tenang, rasional, dan tidak terpengaruh oleh prasangka serta takhayul, Berbagai teknik pemecahan masalah dapat dterapkan dalam pembelajaran Sains. Banyak masalah Sains yang merupakan tantangan bagi siswa, seperti: mengapa terjadi gerhana matahari atau gerhana bulan, mengapa accu (aki) dapat mengahasilkan listrik, mengapa kelelawar dapat terbang dalam keadaan gelap, bagaimana terjadinya embun pada daun tumbuhan, dan lain sebagainya. Cara yang terbaik bagi guru dalam membimbing siswa untuk memecahkan masalah tersebut adalah langkah demi langkah dengan menggunakan contoh, gambar dan lain-lain. Dengan dibimbing anak anak dapat menemukan sendiri jalan pemecahan masalah tersebut sesuai dengan langkah pembelajaran dalam PBL.
Secara ringkas, pembelajaran Sains melalui model PBL dapat terlaksana dengan baik apabila:
1. Tersedianya masalah untuk siswa merupakan syarat awal yang harus dipenuhi dalam PBL dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan pembelajaran. Masalah yang relevan dalam mengajarkan Sains haruslah berupa masalah-masalah kontekstual (contextual problems).
2. Dalam melaksanakan model PBL, guru harus memperhatikan: (a) sajian bahan ajar berupa masalah yang memicu terjadinya konflik kognitif di dalam diri siswa, (b) tidak perlu cepat-cepat memberi bantuan pada siswa, agar perkembangan aktual siswa maksimal, (c) intervensi yang diberikan harus minimal dan ketika benar-benar dibutuhkan siswa, dan (d) agar intervensi yang dilakukan efektif, perlu mengetahui pengetahuan siap siswa (prior knowledge) dan mempertimbangkan berbagai alternatif solusi masalah yang berada dalam koridor pengetahuan siswa.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Melihat problematika IPA belakangan ini. Terutama yang terjadi di berbagai jenjang pendidikan, mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi bahkan di lingkup seorang pendidik (guru). Bila mana hal ini di biarkan oleh pemerintah tanpa ada suatu evaluasi semata, maka problematika ini akan menjadi salah satu persoalan penting.
Maka dari itu pemerintah harus lebih gencar meningkatkan suatu perubahan. Ada beberapa hal yang sangat perlu di lakukan oleh pemerintah dalam mengatasi problematika pendidikan IPA ini. Di antaranya dengan melakukan suatu perombakan secra pundamental dan secara menyeluruh, sehingga apa yang menjadi suatu hambatan saat ini tidak berkepanjangan.
Terkait dengan hal ini, banyak para ilmuan member gambaran serta memulai pembenahan dari apa yang saat ini terjadi di lingkungan pendidikan terutama dalam problematika pendidikan IPA, baik di tingkat SD, SMP, SMA, dan PERGURUAN TINGGI serta tidak lepas di lingkungan para pendidik sekarang ini.
Maka dari pembahasa makalah di atas penulis menyimpulkan ada beberapa solusi. Secara garis besar. Bagaiman memberikan pemahaman seorang pendidik terhadap pembelajaran IPA, karna seorang pendidik merupakan tongkat keberhasilan dari apa yang menjadi suatu bahan permasalah di dalam lingkup IPA. Di samping itu juga tidak lepas dari peserta didik yang perlu di tingkatkan bimbingan serta motivasi bagi mereka untuk lebih mencintai IPA itu sendiri, karna dari pandangan di atas serta pandangan penulis bahwa ketika seseorang mencintai sesuatu maka, sesuatu itu akan terus di gali bagaikan seorang mencari orang yang di sayanginya di manapun dia berada dan mencarinya dengan berbagai macam cara.
Maka, oleh sebab itu yang perlu ditingkatkan dalam lingkup IPA ini adalah bagaimana hubungan antara seorang pendidik dengan peserta didik. Sehingga terjadi terjadai suatu keharmonisan dalam lingkungan pendidikan, dan pembelajaran pun dapat di terima oleh peserta didik serta dapat mengurangi permasalah yang ada.
Kritik dan Saran
Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada Ibu dosen yang telah memberikan bimbingan serta masukan kepada penulis dalam penyesunan makalah ini. Dan penulis juga tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada kedua orang tua serta teman-teman dan semua pihak yang telah membantu dan memberikan semangat serta dorongan kepada penulis, dan kepada rekan-rekan yang tidak sempat penulis sebut namanya satu persatu.
Dari apa yang telah penulis paparkan di atas merupakan bagian dari siatu permasalahan yang ada di lingkungan pendidikan terkait dengan prolblematika IPA di indonesia. Dan penulis mengharapkan kepada semua pihak baik dari pihak dosen, mahsiswa maupun pembaca, untuk memberikan masukan yang bersifat membangun untuk penyusunan laporan selanjutnya.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, mengingat kemampuan penulis yang masih kurang serta pengetahuan dan wawasan yang masih minim. Oleh karena itu keritikan serta saran yang bersifat membangun dari para pembaca dan semua pihak sangat kami harapkan demi kesempurnaan penulisan makalah-makalah selanjutnya sangat penulis harapkan.
Atas segala perhatian serta partisipasinya penulis mengucapkan terimaksih, semoga apa yang telah kami paparkan kaitannya dengan pembahasan tema di atas dapat menjadi pengalama serta msukan berharga khususnya bagi penulis, dan umumnya bagi para pembaca. Dan semoga penysunan makalah ini menjadi awal dari keberhasilan penulis. Amin…
Pohgading, 29 Desember 2010
TTD
Penulis
Daftar Pustaka
UU No.20/2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1996. Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam. Bangil-Jatim: Al-Izzah
PP No. 19/2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan
Bahrul Hayat. 2003. Kemampuan Dasar Hidup . Jakarta: Pusat Penilaian Pendidikan.
Suhendra Yusuf. 2003. Literasi Siswa Indonesia Laporan PISA 2003 . Jakarta: Pusat Penilaian Pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar